Banjir bandang menggenangi tanaman padi para petani, pertengahan Januari 2010, Luapan air Sungai Cibodas Cigintung, tidak mampu menampung derasnya debit air hujan. poto di ambil dari Lantai 3 Gedung SMP PUI Muktisari
.jpg)
Pada saat Raja Willem III dari kerajaan Belanda wafat pada 23 Nopember 1890, yang mencetuskan program CULTUR STELSEL (tanam paksa), dimana setiap desa harus menyediakan lahan 20 % untuk perkebunan pemerintahan Hindia Belanda, dan setiap warga menyediakan 40 hari dalam setahun untuk kerja rodi pada proyek perkebunan tersebut.Program Cultur Stelsel, dilanjutkan oleh penggantinya, yakni Ratu Wilhelmina yang naik tahta dan resmi sebagai Ratu Belanda, sekalipun belum cukup umur.
Desa Muktisari, yang kini terdiri dari 3 dusun yakni, Ciloagirang, Ciloahilir dan Karangsari, pada masa itu belum ada, dan mulai ada dan terbentukya lahan, baik untuk perkebunan, pertanian, atau pemukiman penduduk, setelah adanya pembabatan hutan secara besar-besaran melalui program cultur stelsel pada tahun 1890.
Dari sini penduduk nomadon berdatangan dari berbagai arah angin, sehingga pemerintahan pertama terbentuk dan ada pada tahun 1905, yang saat itu menginduk ke desa Cidulang Kec. Cikijing.
Mengingat saat itu penduduk masyarakat masih sedikit dan lahan garapan pertanian cukup luas, maka pada tahun 1910, terdjadi MOU, dengan masyarakat Ciloa, dengan catatan tidak untuk dimiliki, kesepakatan tersebut disetujui kedua belah fihak. Namun waktu terus berjalan, MOU kesepakatan dibuat tidak secara tertulis, namun secara lisan, para saksi satu persatu meninggal dunia, tanpa jejak dan fakta sebagai barang bukti, ditambah pada tahun 1945 Indonesia merdeka, pelimpahan pusat pemerintahan terjadi dari Desa Cidulang, berpindah ke Desa Cingambul, yang secara status administrasi diterima oleh masyarakat Ciloa
Bersamaan degan berpindahnya status pusat pemerintahan dari Desa Cidulang ke desa cingambul, nampanya ada yang terlupakan, yakni tanah seluas 30 Ha, tidak ikut dibawa.
Pada tahun 1952, pernah terjadi negosiasi bahwa tanah akan diambil kembali, antara Rurah Ciloa dengan kuwu Cidulang, yang waktu itu, utusan dari Ciloa diwakili oleh Anwar Nangwiti. Kesepakatan dicapai bahwa lahan tersebut akan dikembalikan secara bertahap. Sayangnya setelah perjanjian pertama, tidak ditindaklanjuti, sampai Lurah Anwar meninggal dunia. Sehingga sampai sekarang sawah seluas 30 Ha yang berada di wilayah administratif desa Muktisari, menjadi hak milik masyarakat desa Cidulang.
Pada saat masyarakat Ciloa menggabungkan diri ke desa Cingambul, maka ketiga lurah diwajibkan membawa bengkok sebagai upah masing-masing sebagai Lurah. Sayangnya bengkok miliki pemerintahan Cingambul yang berlokasi di blok cingambul, habis dijual secara masing-masing individu para perangkat desa, sehingga pada saat terjadi pamekaran masyarakat ciloa pada tahun 1998, terjadi pembagian bengkok, yang hampir semua bengkok pejabat desa Cingambul berada di wilayah desa Muktisari, karena bengkok di Cingambul sebagi upah perangkat desa, sudah tidak ada. Pada tahun 1978, lahan Kas desa yang disebut nitisara yang berlokasi di kampung Ciloagirang, juga ditukar guling oleh Pa Kuwu Saya, untuk mengganti lahan milik masyarakat Cikondang yang ada di daerah administratif Desa Cingambul, yang kini lahan tersebut di pergunakan sebagai kantor Kecamatan Cingambul dan Lapangan Sepak Bola Desa Cingambul.
Meskipun pada saat pendefinitifan desa muktisari pada tahun 2000, diawali degan pengorbanan dengan banyaknya kehilangan lahan, tetapi masyarakat Desa Muktisari, masih memiliki patriotisme yang hebat, bahwa membangun, memajukan dan memakmurkan masyarakat, adalah dengan akal, kreativitas dan jalan fikiran yang sehat.
Asalamualaikum. Slm kenal, mau nanya dapat informasi dari mana? Valid ga? Klu valid lanjutkan.. He3x hati2 bos kena UU ITE dan masyarakat cikijing dan skitarnya msh suka main hakim sendiri alias lebih senang menyelsaikan persoalan dengan kekerasan.
BalasHapus